Ibrahim bin ‘Adham adalah salah satu ‘alim yang banyak memberikan kita
pelajaran kehidupan. Utamanya tentang perenungan-perenungan hidup guna
bekal kita di kehidupan yang abadi, kelak di akhirat.
Pemikiran-pemikiran dan hikmah yang dihasilkannya, selalu layak untuk
dijadikan pelajaran, agar diri lebih arif dalam memaknai hidup yang
sementara ini. Dan, sebagai sarana mengumpulkan sebanyak-banyaknya bekal
untuk kehidupan selepas mati.
Suatu ketika, dalam sebuah perjalanan, beliau hendak membuang hajat di
toilet umum. Serta merta, beliau mendatangi petugas yang berjaga di
dekat pintu masuk toilet. Lantaran terburu-buru, beliau dicegat oleh
penjaga yang tidak mengenalinya itu, “Hai, Bapak Tua! Mau kemana? Bayar
dulu sebelum masuk!” Tidak sopan. Tapi begitulah tabiat orang yang tidak
mengerti namun sok tahu. Jangankan kepada ‘alim, kepada sesamanya saja
kadang berlaku tak santun.
Dalam jenak, Ibrahim bin ‘Adham terdiam. Lalu, meneteskan air mata.
Kemudian menangis. Penjaga yang pongah itu malah kebingungan. Ditagih
uang masuk toilet, kok malah menangis? Begitu pikirnya. Lantas dengan
bahasa yang tak kalah pongahnya, penjaga itu kembali melancarkan
penghakimannya, “Oya, Pak Tua! Kau pasti tidak punya uang. Sehingga
menangis ketika kutagih uang masuk toilet. Kalau begitu, masuk sajalah.
Tak usah bayar. Kasihan.”
Belum selesai secara sempurna ucapan penjaga toilet yang pongah itu,
Ibrahim kemudian menjawab, “Maaf, tuan. Aku menangis bukan lantaran
tidak bisa membayar uang masuk toilet,” jawab ulama’ itu, santun.
“Lantas, apa yang membuatmu menangis?” sambar sang penjaga. “Aku
menangis karena mengingat satu hal; jika masuk toilet saja ada tarifnya,
lalu berapa banyak tarif yang harus kubayarkan jika aku ingin masuk ke
dalam surganya Allah?” Jawabnya santun. Tapi mengena. Si penjaga pongah
itu hanya terdiam. Malu yang bertambah-tambah.
Pernahkah terlintas dalam benak kita pertanyaan sejenis itu? Jika masuk
toilet saja harus membayar, berapakah tarif yang harus kita setorkan
jika berhajat masuk ke dalam surga? Jikapun kemudian sempat terpikir,
sudah berapa banyak ongkos yang kita kumpulkan agar benar-benar bisa
masuk ke dalam tempat yang paling menyenangkan itu? Sebuah tempat penuh
kenikmatan, yang luasnya seluas langit dan bumi. Bahkan, lebih luas
lagi.
Surga adalah hadiah yang diupayakan. Tak mungkin diberikan jika kita tak
layak untuknya. Layak atau tidak, adalah hak prerogatif Sang Pencipta.
Kriterianya ada di dalam Al-Qur’an dan sunnah RasulNya. Maka surga,
selamanya menjadi gaib dan sangat susah dipastikan. Bahkan, orang yang
di dunia ini nampak ‘alim dan banyak beramal, belum tentu dimasukkan ke
dalamnya. Pun, dengan orang yang ketika di dunia ini terlihat
biasa-biasa saja, kemudian atas rahmat dari Allah orang tersebut mati
dalam keadaan khusnul khotimah, justru orang tersebut yang dimasukkan ke dalam surga.
Persis seperti cerita seorang pelacur yang masuk surga ‘hanya’ karena
memberikan minum untuk anjing yang kehausan. Atau, pembunuh 100 orang
yang masuk surga, padahal mati di tengah perjalanan menuju tempat
seorang ‘alim untuk meminta nasehat. Dari sudut pandang sebaliknya, kita
justru dibuat terhenyak ketika membaca seorang ‘alim yang mempunyai
banyak murid, kemudian menyombongkan diri, lalu tergoda oleh iblis
hingga meminum arak, melakukan pemerkosaan, membunuh korbannya dan
kemudian mati dalam keadaan menyembah iblis.
Kisah-kisah seperti ini, hendaknya membuat diri semakin mengerti. Bahwa
surga memang dijaminkan oleh Allah untuk siapa yang bertaqwa.
Pertanyaannya, seberapa bagus kualitas taqwa kita? Dan, cukupkah itu
semua untuk ditukar dengan tarif untuk masuk surga? Bukankah Rasul sudah
memberikan petunjuk, bahwa amal kita, sebanyak apapun, tak kan mungkin
bisa memasukkan pelakunya ke dalam tempat penuh kenikmatan itu. Hanya
lantaran rahmat Allah-lah, seseorang pantas dimasukkan ke dalam surga
dan menikmati semua bonus atas ketaatan yang dijalankannya di sepanjang
kehidupan dunia.
Tentu, hal itu bukan menjadi pembenaran bagi diri untuk bermalas-malasan
dalam beramal. Karena dengan amal-amal tersebut, insya Allah, bisa
menjadi penyebab bagi kita agar Allah memberikan rahmatNya. Dengan
kesadaran seperti itu, insya Allah, kita akan semakin bersemangat dalam
berlomba menimbun amal shalih, guna kebahagiaan di dunia dan akhirat
kita kelak.
Lantaran tak tahu amalan mana yang diterima oleh Allah dan menjadi sebab
diturunkannya rahmat sebagai tiket masuk surga, maka sudah selayaknya
bagi kita untuk terus menerus melakukan yang terbaik, di sepanjang
kehidupan kita. Karena surga dan ridhoNya, adalah balasan tertinggi bagi
siapa yang beriman dan bertaqwa kepadaNya. “Ya Allah, sesungguhnya kami
meminta ridho dan surgaMu. Dan kami berlindung kepadaMu dari dahsyatnya
siksa neraka.” Aamiin. []
Penulis :
Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com