Master Program

Minggu, 01 Maret 2009

Pengertian Kesusastraan

PENGERTIAN KESUSASTRAAN


Sesuatu disebut teks sastra jika (1) teks tersebut tidak melulu disusun untuk tujuan komunikatif praktis atau sementara waktu, (2) teks tersebut mengandung unsur fiksionalitas, (3) teks tersebut menyebabkan pembaca mengambil jarak, (4) bahannya diolah secara istimewa, dan (5) mempunyai keterbukaan penafsiran.


Sampai saat ini ada keyakinan bahwa ada tiga hal yang membedakan karya sastra dengan karya tulis lainnya, yaitu
a.
sifat khayali
b. adanya nilai-nilai seni/estetika
c. penggunaan bahasa yang khas


I. PEMBAGIAN JENIS-JENIS SASTRA

Pembicaraan yang selama ini dilakukan ternyata hanya memberi perhatian pada tiga jenis karya sastra yaitu puisi, prosa cerita, dan drama. Hal itu memang logis karena tiga jenis tersebutlah yang mengandung unsur-unsur kesusastraan secara dominan (fiksi, imaji, dan rekaan). Namun, seiring dengan perkembangan dunia sastra akhir-akhir ini mulai terjadi pembatasan yang tipis antara khayalan dan kenyataan. Oleh sebab itu mulai dibicarakan pembagian sastra yanag lain. Dalam perkembangan sastra akhir-akhir ini, karya sastra dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu (a) sastra imajinatif, dan (b) sastra non-imajinatif.


Sastra imajinatif mempunyai ciri
a. isinya bersifat khayali
b. menggunakan bahasa yang konotatif
c. memenuhi syarat-syarat estetika seni.


Sedangkan sastra non-imajinatif mempunyai ciri-ciri
a. isinya menekankan unsur faktual/faktanya.
b. Menggunakan bahasa yang cenderung denotatif.
c. Memenuhi unsur-unsur estetika seni.


Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesamaan antara sastra imajinatif dan non-imajinatif adalah masalah estetika seni. Unsur estetika seni meliputi keutuhan (unity), keselarasan (harmony), keseimbangan (balance), fokus/pusat penekanan suatu unsur (right emphasis). Sedangkan perbedaannya terletak pada isi dan bahasanya. Isi sastra imajinatif sepenuhnya bersifat khayal/fiktif, sedangkan isi sastra non-imajinantif didominasi oleh fakta-fakta. Bahasa sastra imajinatif cenderung konotatif, sedangkan bahasa sastra non-imajinatif cenderung denotatif.
Bentuk karya sastra yang termasuk karya sastra imajinatif adalah

a. Puisi : 1. Epik 2. Lirik 3. dramatikb.
b. Prosa : 1. Fiksi (novel, cerpen, roman) dan 2. Drama (drama prosa, drama puisi)
Bentuk karya sastra yang termasuk sastra non-imajinatif adalah
a. Esai, yaitu karangan pendek tentang suatu fakta yang dikupas menurut pandangan pribadi
penulisnya.
b. Kritik, adalah analisis untuk menilai suatu karya seni atau karya sastra.
c. Biografi, adalah cerita tentang hidup seseorang yang ditulis oleh orang lain.
d. Otobiografi, adalah biografi yang ditulis oleh tokohnya sendiri.
e. Sejarah, adalah cerita tentang zaman lampau suatu masyarakat berdasarkan sumber tertulis
maupun tidak tertulis.
f. Memoar, adalah otobiografi tentang sebagian pengalaman hidup saja.
g. Catatan harian, adalah catataan seseorang tentang dirinya atau lingkungannya yang ditulis
secara teratur.

II. UNSUR-UNSUR PEMBENTUK KARYA SASTRA

Sebenarnya sangat sulit menjelaskan unsur-unsur yang membentuk suatu karya sastra. Namun, setidak-tidaknya hal itu dapat didekati dari dua sisi. Pertama kita lihat dari definisi-definisi yang telah diungkapkan. Dari definisi-definisi yang sudah ada, ada unsur-unsur yang selalu disinggung. Unsur-unsur tersebut dapat dipandang sebagai unsur-unsur yang dianggap sebagai pembentuk karya sastra.
Menurut Luxemburg (1992:4-6) beberapa ciri yang selalu muncul dari definisi-definisi yang pernah diungkapkan antara lain : a. Sastra merupakan ciptaan atau kreasi, bukan pertama-tama imitasi.
b. Sastra bersifat otonom (menciptakan dunianya sendiri), terlepas dari dunia nyata.
c. Sastra mempunyai ciri koherensi atau keselarasan antara bentuk dan isinya.
d. Sastra menghidangkan sintesa (jalan tengah) antara hal-hal yang saling bertentangan.
e. Sastra berusaha mengungkapkan hal yang tidak terungkapkan. Pendekatan kedua dapat dilihat dengan cara melihat bagaimana seorang juri atau editor mempertimbangkan mutu sebuah karya sastra.
Jakob Sumardjo dan Zaini KM (1988:5-8) mengajukan sepuluh syarat karya sastra bermutu, yaitu
a. Karya sastra adalah usaha merekam isi jiwa sastrawannya.
b. Sastra adalah komunikasi, artinya bisa dipahami oleh orang lain.
c. Sastra adalah sebuah keteraturan, artinya tunduk pada kaidah-kaidah seni.
d. Sastra adalah penghiburan, artinya mampu memberi rasa puas atau rasa senang pada pembaca.
e. Sastra adalah sebuah integrasi, artinya terdapat keserasian antara isi, bentuk, bahasa, dan ekspresi pribadi pengarangnya.
f. Sebuah karya sastra yang bermutu merupakan penemuan.
g. Karya yang bermutu merupakan (totalitas) ekspresi sastrawannya.
h. Karya sastra yang bermutu merupakan sebuah karya yang pekat, artinya padat isi dan bentuk, bahasa dan ekspresi.
i. Karya sastra yang bermutu merupakan (hasil) penafsiran kehidupan.
j. Karya sastra yang bermutu merupakan sebuah pembaharuan. Berbeda dengan Jakob Sumardjo dan Zaini KM, Luxemburg berpendapat bahwa
a. Karya sastra adalah teks-teks yang tidak melulu disusun untuk tujuan komunikasi praktis dan sementara waktu.
b. Karya sastra adalah teks-teks yang mengandung unsur fiksionalitas.
c. Karya sastra adalah jika pembacanya mengambil jarak dengan teks tersebut.
d. Bahannya diolah secara istimewa.
e. Karya sastra dapat kita baca menurut tahap-atahp arti yang berbeda-beda.
f. Karena sifat rekaannya sastra secara langsung tidak mengatakan sesuatu mengenai kenyataan dan juga tidak menggugak kita untuk langsung bertindak.
g. Sambil membaca karya sastra tersebut kita dapat mengadakan identifikasi dengan seorang tokoh atau dengan orang-orang lain.
h. Bahasa sastra dan pengolahan bahan lewaat sastra dapat membuka batin kita bagi pengalaman-pengalaman baru.
i. Bahasa dan sarana-sarana sastra lainnya mempunyai suatu nilai tersendiri.
j. Sastra sering digunakan untuk mencetuskan pendapat yang hidup dalam masyarakat. Daftar Pustaka
Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Sumardjo, Jakob, dan Sauni K.M. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : Gramedia. UNSUR-UNSUR INTRINSIK PROSA CERITA
Pengantar
Yang dimaksud unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra aitu atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan duianya sendiri yang berberda dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan dunianya sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut. Pada umumnya para ahli sepakat bahwa unsur intrinsik terdiri dari
a. Tokoh dan penokohan/perwatakan tokoh
b. Tema dan amanat
c. Latar
d. Alur
e. Sudut pandang/gaya penceritaaan

Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas unsur-unsur tersebut I. TOKOH
Yang dimaksud dengan tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakukan dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan.
Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita.
Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Tokoh sentral protagonis. Tokoh sentral protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai pisitif.
b. Tokoh sentral antagonis. Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.
Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu
a. Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercataan tokoh sentral (protagonis atau antagonis).
b. Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.
c. Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja. Berdasarkan cara menampikan perwatakannya, tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Tokoh datar/sederhana/pipih. Yaitu tokoh yang diungkapkan atau disoroti dari satu segi watak saja. Tokoh ini bersifat statis, wataknya sedikit sekali berubah, atau bahkan tidak berubah sama sekali (misalnya tokoh kartun, kancil, film animasi).
b. Tokoh bulat/komplek/bundar. Yaitu tokoh yang seluruh segi wataknya diungkapkan. Tokoh ini sangat dinamis, banyak mengalami perubahan watak. II. PENOKOHAN Yang dimaksud penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada beberapa metode penyajian watak tokoh, yaitu
a. Metode analitis/langsung/diskursif. Yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.
b. Metode dramatik/taklangsung/ragaan. Yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.
c. Metode kontekstual. Yaitu penyajian watak tokoh melalui gaya bahasa yang dipakai pengarang. Menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM., ada lima cara menyajikan watak tokoh, yaitu
a. Melalui apa yang dibuatnya, tindakan-tindakannya, terutama abagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
b. Melalui ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita dapat mengetahui apakah tokoh tersebut orang tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau halus.
c. Melalui penggambaran fisik tokoh.
d. Melalui pikiran-pikirannya
e. Melalui penerangan langsung.
Tokoh dan latar memang merupakan dua unsur cerita rekaan yang erat berhubungan dan saling mendukung. III. ALUR
Alur adalah urutaan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Urutan peristiwa dapat tersusun berdasarkan tiga hal, yaitu
a. Berdasarkan urutan waktu terjadinya. Alur dengan susunan peristiwa berdasarkan kronologis kejadian disebut alur linear
b. Berdasarkan hubungan kausalnya/sebab akibat. Alur berdasarkan hubungan sebab-akibat disebut alur kausal.
c. Berdasarkan tema cerita. Alur berdasarkan tema cerita disebut alur tematik. Struktur Alur
Setiap karya sastra tentu saja mempunyai kekhususan rangkaian ceritanya. Namun demikian, ada beberapa unsur yang ditemukan pada hampir semua cerita. Unsur-unsur tersebut merupakan pola umum alur cerita. Pola umum alur cerita adalah
a. Bagian awal
1. paparan (exposition)
2. rangsangan (inciting moment)
3. gawatan (rising action)
b. Bagian tengah
4. tikaian (conflict)
5. rumitan (complication)
6. klimaks
c. Bagian akhir
7. leraian (falling action)
8. selesaian (denouement) Bagian Awal Alur
Jika cerita diawali dengan peristiwa pertama dalam urutan waktu terjadinya, dikatakan bahwa cerita itu disusun ab ovo. Sedangkan jika yang mengawali cerita bukan peristiwa pertama dalam urutan waktu kejadian dikatakan bahwa cerita itu dudun in medias res.
Penyampaian informasi pada pembaca disebut paparan atau eksposisi. Jika urutan konologis kejadian yang disajikan dalam karya sastra disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya, maka dalam cerita tersebut terdapat alih balik/sorot balik/flash back.
Sorot balik biasanya digunakan untuk menambah tegangan/gawatan, yaitu ketidakpastian yang berkepanjangan dan menjadi-jadi. Dalam membuat tegangan, penulis sering menciptakan regangan, yaitu proses menambah ketegangan emosional, sering pula menciptakan susutan, yaitu proses pengurangan ketegangan. Sarana lain yang dapat digunakan untuk menciptakan tegangan adalah padahan (foreshadowing), yaitu penggambaran peristiwa yang akan terjadi. Bagian Tengah Alur
Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan. Perkembangan dari gejala mula tikaian menuju ke klimaks cerita disebut rumitan. Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh dampak dari klimaks. Klimaks adalah puncak konflik antartokoh cerita. Bagian Akhir Alur
Bagian sesudah klimaks adalah leraian, yaitu peristiwa yang menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah selesaian. Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita.
Dalam membangun peristiwa-peristiwa cerita, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan agar alur menjadi dinamis. Faktor-faktor penting tersebut adalah
a. faktor kebolehjadian (pausibility). Yaitu peristiwa-peristiwa cerita sebaiknya meyakinkan, tidak selalu realistik tetapi masuk akal. Penyelesaian masalah pada akhir cerita sesungguhnya sudah terkandung atau terbayang di dalam awal cerita dan terbayang pada saat titik klimaks.
b. Faktor kejutan. Yaitu peristiwa-peristiwa sebaiknya tidak dapat secara langsung ditebak/dikenali oleh pembaca.
c. Faktor kebetulan. Yaitu peristiwa-peristiwa tidak diduga terjadi, secara kebetulan terjadi.
Kombinasi atau variasi ketiga faktor tersebutlah yang menyebabkan peristiwa-peristiwa cerita menjadi dinamis.
Selain itu ada hal yang harus dihindari dalam alur, yaitu lanturan atau digresi. Lanturan atau digresi adalah peristiwa atau episode yang tidak berhubungan dengan inti cerita atau menyimpang dari pokok persoalan yang sedang dihadapi dalam cerita. Macam Alur
Pada umumnya orang membedakan alur menjadi dua, yaitu alur maju dan alur mundur. Yang dimaksud alur maju adalah rangkaian peristiwa yang urutannya sesuai dengan urutan waktu kejadian. Sedangkan yang dimaksud alur mundur adalah rangkaian peristiwa yang susunannya tidak sesuai dengan urutan waktu kejadian.
Pembagian seperti itu sebenarnya hanyalah salah satu pembagian jenis alur yaitu pembagian alur berdasarkan urutan waktu. Secara lebih lengkap dapat dikatakan bahwa ada tiga macam alur, yaitu
a. alur berdasarkan urutan waktu
b. alur berdasarkan urutan sebab-akibat
c. alur berdasarkan tema. Dalam cerita yang beralur tema setiap peristiwa seolah-olah berdiri sendiri. Kalau salah satu episode dihilangkan cerita tersebut masih dapat dipahami. Dalam hubungannya dengan alur, ada beberapa istilah lain yang perlu dipahami. Pertama, alur bawahan. Alur bawahan adalah alur cerita yang ada di samping alur cerita utama. Kedua, alur linear. Alur linear adalah rangkaian peristiwa dalam cerita yang susul-menyusul secara temporal. Ketiga, alur balik. Alur balik sama dengan sorot balik atau flash back. Keempat, alur datar. Alur datar adalah alur yang tidak dapat dirasakan adanya perkembangan cerita dari gawatan, klimaks sampai selesaian. Kelima, alur menanjak. Alur menanjak adalah alur yang jalinan peristiwanya semakin lama semakin menanjak atau rumit. IV. LATAR
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar meliputi penggambaran letak geografis (termasuk topografi, pemandangan, perlengkapan, ruang), pekerjaan atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya kejadian, musim, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh. MACAM LATAR
Latar dibedakan menjadi dua, yaitu
1. Latar fisik/material. Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya (dapat dipahami melalui panca indra).
Latar fisik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Latar netral, yaitu latar fisik yang tidak mementingkan kekhususan waktu dan tempat.
b. Latar spiritual, yaitu latar fisik yang menimbulkan dugaan atau asosiasi pemikiran tertentu.
2. Latar sosial. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial dan sikap, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain. FUNGSI LATAR
Ada beberapa fungsi latar, antara lain
1. memberikan informasi situasi sebagaimana adanya
2. memproyeksikan keadaan batin tokoh
3. mencitkana suasana tertentu
4. menciptakan kontras V. TEMA DAN AMANAT
Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra disebut tema. Ada beberapa macam tema, yaitu
a. Ada tema didaktis, yaitu tema pertentangan antara kebaikan dan kejahatan
b. Ada tema yang dinyatakan secara eksplisit
c. Ada tema yang dinyatakan secara simbolik
d. Ada tema yang dinyatakan dalam dialog tokoh utamanya
Dalam menentukan tema cerita, pengarang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
a. ninat pribadi
b. selera pembaca
c. keinginan penerbit atau penguasa Kadang-kadang terjadi perbedaan antara gagasan yang dipikirkan oleh pengarang dengan gagasan yang dipahami oleh pembaca melalui karya sastra. Gagasan sentral yang terdapat atau ditemukan dalam karya sastra disebut makna muatan, sedangkan makna atau gagasan yang dimaksud oleh pengarang (pada waktu menyusun cerita tersebut) disebut makna niatan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan makna aniatan kadang-kadang tidak sama dengan makna muatan
a. pengarang kurang pandai menjabarkan tema yang dikehendakinya di dalam karyanya.
b. Beberapa pembaca berbeda pendapat tentang gagasan dasar suatu karta.
Yang diutamakan adalah bahwa penafsiran itu dapat dipertanggungjawabkan dengan adanya unsur-unsur di dalam karya sastra yang menunjang tafsiran tersebut.
Dalam suatu karya sastra ada tema sentral dan ada pula tema samapingan. Yang dimaksud tema sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam cerita. Yang dimaksud tema sampingan adalah tema-tema lain yang mengiringi tema sentral.
Ada tema yang terus berulang dan dikaitkan dengan tokoh, latar, serta unsur-unsur lain dalam cerita. Tema semacam itu disebut leitmotif. Leitmotif ini mengantar pembaca pada suatu amanat. Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir, dapat pula secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita. VI. POINT OF VIEW
Bennison Gray membedakan pencerita menjadi pencerita orang pertama dan pencerita orang ketiga.
1. Pencerita orang pertama (akuan).
Yang dimaksud sudut pandang orang pertama adalah cara bercerita di mana tokoh pencerita terlibat langsung mengalami peristiwa-peristiwa cerita. Ini disebut juga gaya penceritaan akuan.Gaya penceritaan akuan dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Pencerita akuan sertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencnerita menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut.
b. Pencerita akuan taksertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencerita tidak terlibat menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut.
2. Pencerita orang ketiga (diaan).
Yang dimaksud sudut pandang orang ketiga adalah sudut pandang bercerita di mana tokoh pencnerita tidak terlibat dalam peristiwa-peristiwa cerita. Sudut pandang orang ketiga ini disebut juga gaya penceritaan diaan. Gaya pencerita diaan dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Pencerita diaan serba tahu, yaitu pencerita diaan yang tahu segala sesuatu tentang semua tokoh dan peristiwa dalam cerita. Tokoh ini bebas bercerita dan bahkan memberi komentar dan penilaian terhadap tokoh cerita.
b. Pencerita diaan terbatas, yaitu pencerita diaan yang membatasi diri dengan memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya. Jadi seolah-olah dia hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja. Kadang-kadang orang sulit membedakan antara pengarang dengan tokoh pencerita. Pada prinsipnya pengarang berbeda dengan tokoh pencerita. Tokoh pencerita merupakan individu ciptaan pengarang yang mengemban misi membawakan cerita. Ia bukanlah pengarang itu sendiri. Jakob Sumardjo membagi point of view menjadi empat macam, yaitu
a. Sudut penglihatan yang berkuasa (omniscient point of view). Pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia tahu segalanya. b. Sudut penglihatan obyektif (objective point of view). Pengarang serba tahu tetapi tidak memberi komentar apapun. Pembaca hanya disuguhi pandangan mata, apa yang seolah dilihat oleh pengarang.
c. Point of view orang pertama. Pengarang sebagai pelaku cerita.
d. Point of view peninjau. Pengarang memilih salah satu tokohnya untuk bercerita. Seluruh kejadian kita ikuti bersama tokoh ini. Menurut Harry Shaw, sudut pandang dalam kesusastraan mencakup
a. Sudut pandang fisik. Yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam mendekati materi cerita.
b. Sudut pandang mental. Yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah atau peristiwa yang diceritakannya.
c. Sudut pandang pribadi. Adalah sudut pandang yang menyangkut hubungan atau keterlibatan pribadi pengarang dalam pokok masalah yang diceritakan. Sudut pandang pribadi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengarang menggunakan sudut pandang tokoh sentral, pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, dan pengarang menggunakan sudut pandang impersonal (di luar cerita). Menurut Cleanth Brooks, fokus pengisahan berbeda dengan sudut pandang. Fokus pengisahan merupakan istilah untuk pencerita, sedangkan sudut pandang merupakan istilah untuk pengarang. Tokoh yang menjadi fokus pengisahan merupakan tokoh utama cerita tersebut. Fokus pengisahan ada empat, yaitu
a. Tokoh utama menyampaikan kisah dirinya.
b. Tokoh bawahan menyampaikan kisah tokoh utama.
c. Pengarang pengamat menyampaikan kisah dengan sorotan terutama kepada tokoh utama.
d. Pengarang serba tahu.

Tidak ada komentar: